Ketika Anak Sulit Dinasihati
Senang ya kalau anak-anak nurut dengan apa yang orang tua bilang. Tapi kenyatannya ada suatu momen yang sering kali menguji kesabaran orang tua. Kapan itu? Yaitu ketika anak melakukan hal yang tidak disukai orang tua. Ujian kesabaran berlanjut ketika anak tidak juga nurut ketika dinasihati.
Ustadz M. Fauzil Adhim membahas hal ini dalam video kajian https://www.youtube.com/watch?v=vnxJLI8_paQ. Beliau menjelaskan bahwa banyak anak-anak usia kelas 5, 6, 7, atau 8 yang tidak mau diajak ngobrol orang tuanya. Apakah bisa dipastikan bahwa anaknya yang salah? Kita perlu mengulik lebih lanjut agar tidak serta merta menyalahkan anak yang katanya sulit dinasihati.
Ada orang tua yang bersikap cuek pada anak, padahal anak sudah berusaha dekat. Anak memanggil, tapi orang tuanya hanya menjawab, “Apa tho? Mbok ya ngomong aja!” Gimana perasaan anak mendengar jawaban dingin dari orang tuanya seperti itu? Mungkin keinginannya untuk bercerita langsung pupus.
Baca juga:
Perempuan Bicara 20.000 Kata per Hari, Itu Mitos!
Sementara jika di luar rumah, ketika anak mau bercerita, teman-temannya antusias dan mau mendengarkan. Kira-kira anak akan pilih mana? Bercerita kepada yang mau mendengar meskipun umurnya sebaya atau bercerita kepada orang tua tapi ngga antusias mendengarkan?
“Ya, ya, kamu cerita aja, Bapak dengerin kok,” jawaban dingin orang tua. Mungkin orang tua menjawab, namun pandangannya tertuju pada ponselnya atau pada fokus yang lain. Menjawab yang hanya sambil lalu. Jika sulit untuk meraba perasaan anak, mungkin bisa kita tanyakan kepada diri sendiri sebagai orang tua. Kita lebih suka cerita kepada siapa dan kenapa. Pasti lebih suka bercerita kepada orang yang antusias mendengarkan daripada sekedar mendengar saja.
Ada kondisi dimana anak sedang sumpek, ingin bercerita. Ia percaya kepada orang tuanya. Eh, belum selesai bercerita, orang tuanya sudah menghentikannya atau malah memarahinya. Kira-kira anak akan memilih meneruskan cerita atau diam? Kemungkinan besar, ia akan memilih untuk diam.
Ada lagi kondisi dimana anak sangat sulit untuk mengajak orang tuanya bicara. Tapi kalau pas lagi di luar, orang tuanya ini bisa memuji anaknya, “Wah, hebat anakku!” Bagus kan ya memuji? Tapi sebenarnya anak lebih butuh tanggapan atau pujian sih? Mana yang lebih bisa menentramkan hati anak, ditanggapi atau dipuji?
Anak lebih butuh tanggapan kita, orang tuanya. Anak lebih tenang hatinya kalau kita tanggapi. Ada orang tua yang tidak pernah memuji anaknya, tapi anak tetap sayang kepada orang tuanya itu. Kenapa? Karena ketika anak berkeluh kesar, ia didengarkan dengan sungguh-sungguh.
Ustadz Fauzil Adhim menekankan bahwa dari beberapa kasus, yang perlu diperbaiki bukanlah cara orang tua menasihati anak. Tetapi yang perlu diperbaiki adalah kesediaan orang tua untuk mendengarkan anak dan ingin tahu apa yang menjadi cerita anak. Ketika orang tua mau mendengarkan dengan baik dan antusias, maka dia akan lebih mudah diajak bicara.
Baca juga:
Menjadi ayah yang dirindukan, mengapa tidak?
Beliau berpesan agar untuk menasihati anak, orang tua menunggu anak itu tenang. Caranya adalah dengan meluangkan waktu untuk berbincang dengan anak, jangan tergesa-gesa.
Contoh kasusnya, suatu ketika ada orang yang melapor kepada kita, “Pak, mohon maaf sebelumnya, sepertinya tadi saya melihat putra Bapak menendang temannya.” Bagaimana reaksi kita sebagai orang tua yang dilapori? Sementara orang yang melapor ini adalah orang yang bisa dipercaya.
Pertama, hilm harus tetap ada. Tanya dulu kepada anak, “Nak, tadi Bapak dapat laporan, namanya laporan itu bisa benar bisa juga ngga benar. Nah, Bapak ingin tahu, ini benar apa ngga. Tadi ada orang lapor, katanya melihat kamu nendang temanmu. Nah, itu benar atau ngga?” Langkah ini yang dinamakan tabayyun.
Ketika anak menjawab, “Iya, Pak,” jangan langsung buru-buru dimarahi. Kita perlu tahu alasannya, “Kenapa, Nak?”
Anak kemudian bercerita, “Kan Bapak pernah bilang, kalau ada orang kesetrum listrik, itu cara nolongnya bukan dipegang, tapi didorong. Lha tadi aku panik, temenku kesetrum, jadi aku tendang dia.”
Kalau begitu, tindakan anak benar atau salah? Benar kan? Tapi apa jadinya kalau kita hanya sampai pada jawaban, “Iya, Pak,” lalu langsung memarahinya tanpa menggali apa alasannya?
Contoh kejadian lainnya. Ketika anak menangis, sementara ada kakaknya di sana. Apa yang biasanya orang tua lakukan? Sebagian orang tua mungkin akan memarahi si kakak karena ngga mau nolongin adiknya. Padahal mungkin saja si kakak mau menolong, tapi kalah 1 detik daripada bapaknya. Ia baru mau beranjak, tapi sudah keduluan bapaknya datang dan langsung menyalahkan si kakak. Maka anak belajar mengubur keinginan baik terhadap saudaranya. Dimana akar masalahnya? Ternyata di orang tua, kan?
Seringkali yang perlu ditata kembali adalah cara kita berkomunikasi dengan anak. Memperbaiki kesediaan kita untuk mendengarkan, kesediaan kita untuk meluruskan kesalahan anak bukan dengan memberikan penjelasan yang panjang, tapi dengan membereskan pikiran anak.
Dengan apa membereskan pikiran anak? Ketika anak menjawab, bertanyalah lagi, “Lha kok kamu begitu, kenapa, Nak?” Ketika anak bertindak tanpa punya alasan, maka ia akan bingung sendiri. Nah, dari sana lah anak akan belajar menata pikirannya.
#mohammadfauziladhim #tarbiyahislamiyah #pendidikan #pendidikanislam #fauziladhim #parenting #parentingsilami #menasihatianak #anaksulitdinasihati #komunikasikeluarga #tabayyun #hilm





