Motivasi hidup dari cerita temen senior se almamater tentang perjuangan kuliah tempoe dulu
Selamat sobat blogger, motivasi seseorang tidak semudah memotivasi diri sendiri, tidak seperti membalikkan telapak tangan kita, hal yang menurut kita baik dan di ajarkan kepada orang lain, tetapi oranglain belum tentu menyambut baik materi yang kita ajarkan. Memberikan pelajaran yang baik dan berharga ternyata tidak lah mudah, dan perlu usaha yang cukup ekstra ( red:besar). Ini terbukti pada diri saya sendiri sebagai tenaga pendidik, yang mengajak siswa/siswi menjadi yang lebih baik ternyata tidak semua siswa/ siswi menyambut baik hal itu. terus apa yang membuat motivasi tetap menjalani profesi ini? kadang ada suka duka dalam menjalani profesi ini yang notabene sekarang jaman terus bergulir maju entah teknologinya ataupun sikapnya. Semakin besar usaha yang kita butuhkan, maka semakin besar pahala yang kita dapatkan nantinya, insyaAllah …aamiin.
Yang pastinya perkembangan jaman sekarang ini, sikap anak-anak kita sudah berubah tidak seperti jaman kami dulu ketika seumuran orang kuliah. pada jaman dulu masih perlu kerja untuk mendapatkan uang saku dari orang tua, tetapi untuk jaman sekarang uang saku di minta dengan percuma..he he he..maklum orang tua kami dulu kerjaannya sebagai tani, jadi sehabis pulang sekolah harus ke sawah dulu biar besok dapat uang saku.
kemarin pas liburan ada temen yang posting di grup WA tentang perjuangan masa kuliah dulu. Mungkin cerita ini bukan saya tetapi cerita dari rekan senior se almamater saya dulu ( sok ngaku).whatever lah yang penting cerita ini bisa dicopy paste buat memotivasi anak, ponakan dan saudara2 lainnya. Tanpa panjang lebar saya copy kan tulisan tersebut:
Profesor Ir. Zainal Abidin MSc. PhD. (ZA).
3 minggu yg lalu, aku menghadiri undangan “Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Teknik Mesin ITB”, prof. ZA di Bandung. Dia teman seangkatanku di Teknik Mesin ITB.
Kisah perjalanan hidupnya cukup inspiratif. Seperti halnya Andrea Hirata (Laskar Pelangi), atau Iwan Setiawan (9 Autum 10 Summer), atau Chairul Tanjung (pemilik bank Mega), atau Dahlan Iskan, atau …masih banyak lainnya yg tidak ter ekspose. Hidupnya serba kekurangan. Serba susah.
ZA anak seorang janda di Surabaya. ZA dan kakaknya ditinggal mati bapaknya ketika mereka masih SD. Ibunya hanya lulusan madrasah (setingkat SMP). Karena tidak memiliki keahliaan apa-apa, ibunya menyambung hidup dengan jualan jajanan ringan seperti rempeyek, es lilin dll.
Dengan prestasinya di SMA, ZA mendapatkan bea siswa dari Universitas Petra Surabaya. Namun karena diterima di ITB, dia nekat berangkat ke Bandung. ZA berbeda dengan Chairul Tanjung (CT). CT adalah anak bekas pengusaha (yg kemudian bangkrut). Jadi ya jiwa wiraswastanya masih kental. Kalau ZA tidak pernah kenal dunia usaha. Jadi…, cara survive nya juga berbeda.
Tahun pertama di ITB (th ’79), ZA masih mendapatkan kiriman Rp.15.000,- per bulan dari ibunya. Saat itu, dengan lauk tahu, tempe dan sop, harganya sepiring nasi sudah Rp 250,- di warung pak Kemi, di pagar belakang kantor BATAN. Agar dananya mencukupi sampai akhir bulan, ZA sering pesan makanan hanya setengah bahkan seperempat porsi. Hanya untuk sekedar TIDAK LAPAR saja.
Tahun ke 2 di ITB dilaluinya dengan sangat susah. Hampir tidak ada kiriman dana dari ibu nya. Untuk menyambung hidup, ia terpaksa bekerja serabutan kesana kemari. Pernah pada suatu waktu, ZA tidak punya tempat tinggal. Kalau ke kampus bajunya yg hanya beberapa setel dibawanya semua. Semula ZA menjadi tenaga honorer di Perpustakaan Aula Timur ITB, disela-sela jadual kuliahnya. Kalau lewat jam 21.00 dia sering disuruh menjaga Aula Barat ITB, yg saat ini merupakan ruang baca mahasiswa. Kalau mendapat tugas seperti ini, ZA gembira sekali. Karena selain bisa belajar, dia juga bisa numpang tidur di situ. Padahal…., di Aula Barat…., nyamuknya banyak sekali.
Meskipun demikian.., prestasinya sangat cemerlang. Setiap akhir semester, hasil ujiannya bertaburan dengan nilai A. Padahal…, sulit sekali mendapatkan nilai A di Teknik Mesin ITB. Terus terang…, selama aku kuliah, dari 160 SKS, nilai A ku hanya 2 SKS. Hanya 1 mata pelajaran yg dapat A, yaitu “Pengelasan”.
Itupun karena aku menjadi Asisten Praktikum Lab Teknologi Mekanik, makanya las-lasanku rapi dan punya semangat lebih untuk mendalami Pengelasan. Jadi aku dapet nilai A bukan dari mata pelajaran yg prestisius, tapi hanya ilmunya Tukang Las Pinggir Jalan.
Di tahun ke 3, ZA mulai memberikan les privat pada anak2 SD, SMP & SMA. Kegiatan ini terus dijalaninya hingga ZA lulus kuliah.
Setelah ekonominya rada membaik dengan banyaknya murid les, ibunya diboyongnya dari Surabaya ke Bandung. Mereka sewa rumah petak di gang kecil di Titimplik (1 km dari ITB). Ibunya diberdayakan untuk bikin Catering buat para mahasiswa. Dari usaha ini, minimal, mereka tidak perlu ada pengeluaran untuk makan harian.
Lulus tepat waktu, 5 tahun, ZA menjadi lulusan terbaik Teknik Mesin ITB. Begitu lulus, ia langsung diterima bekerja di Slumberger (baca : Slambersi, salah satu perusahaan minyak terbesar di dunia dari Prancis) dengan gaji US$ 2.000 (konversi sekarang kurang lebih 30 jt). Namun ZA terpaksa mengundurkan diri, karena enggak dapat restu dari ibunya. Ibunya mengkhawatirkan keselamatannya. Ketika itu ada tetangga mereka yg kehilangan jarinya sewaktu bekerja di lapangan minyak. Oleh karena itu, ibunya meminta untuk menjadi dosen di ITB saja.
ZA mendapatkan PhD nya di University of Salford UK. Dalam karier tekniknya, ZA telah mematenkan 2 hasil penelitiannya. Bidang keahliannya adalah :
“Pemantauan Kondisi Kesehatan Mesin berbasis Getaran”.
Dengan metoda temuannya, ZA bisa memprediksi kapan suatu mesin akan rusak dan bagian mana saja dari komponen mesin yang akan mengalami kerusakan. Layaknya seorang dokter yg memperkirakan sisa usia pasien kankernya.
Dengan prediksi ini, BREAK DOWN pabrik (pabrik berhenti mendadak karena kerusakan mesin), dapat dihindari. Komponen bisa segera diganti sebelum mesin rusak. Pabrik juga bisa langsung merencanakan pembelian komponen2 yg harus diganti sebelum service mesin dilakukan. Kondisi ini akan sangat menguntungkan perusahaan. Kalau sampai pabrik berhenti mendadak karena kerusakan mesin, maka akibat ekonomisnya sangat luar biasa :
1. Skedul produksi dan delivery akan terganggu. Akan mengecewakan pelanggan. Bisa kena pinalty jutaan dolar. Atau bisa2 kontrak pembelian juga diputus.
2. Perbaikan mesin akan memakan waktu lama, menunggu datangnya komponen pengganti yg baru dipesan. Atau…, kalau perusahaannya royal, yha harus stok komponen di gudang.
Melakukan stok komponen di gudang ini juga akan menaikkan modal kerja, menaikkan biaya bunga, juga menaikkan biaya gudang.
Metode “Perawatan Prediktif” berbasis getaran yg digelutinya, telah terbukti menghemat biaya perawatan atau kerugian bisnis (opportunity cost) jutaan dolar per tahun bagi para pelanggannya.
Keahlian ZA banyak dimanfaatkan oleh dunia industri, terutama industri minyak. Hampir semua perusahaan minyak di Indonesia adalah pelanggannya.
Pada saat Pengukuhan Guru Besarnya, ibunya yg sudah berusia 85 th, sudah tidak mampu bangun dari tempat tidurnya. Beliau hanya dapat menyaksikan momen mengharukan prestasi anaknya melalui rekaman video.
Selamat.., Sukses…, Zainal, sobatku…!!
Salam,
Nurseto Ardiputranto
Sedangkan jawaban beliau seperti pada postingan berikut, yang kadang sesuai dengan realita kehidupan kami sebagi tenaga pendidik.
Pak Nanang, Pak Ali, Pak Hanggoro, Pak Heru, Pak Gatot, dan Rekan2 Yth,
Terima kasih. Semoga kisah saya yg ditulis Pak Nurseto bermanfaat untuk anak2 yang tidak mampu. Walau saya dosen dan menerima gaji dari ITB, tetapi saya sangat ingin lebih banyak mahasiswa miskin yg menjadi mahasiswa ITB.
Di angkatan kita dulu, kayaknya mahasiswa yg miskin (walau tidak semiskin saya) cukup banyak dan datang dari berbagai daerah. Saat ini mahasiswa ITB mayoritas dari Jawa Barat dan Jakarta. Kebanyakan dari mereka cukup mampu. Lha bayar SPP 1 semester 5 juta saja mampu kok. Istri saya jadi WDS di salah satu universitas swasta. SPP di sana 1 semester ‘hanya’ 2 juta. Itupun ada mahasiswa yg tunggakan SPP nya kurang 300 ribu sampai orang tuanya dipanggil karena sdh mendekati ujian. Saya bilang ke istri: Dah kita bayari saja, kasihan mereka mau ujian harus mendatangkan orang tuanya dari Ciamis. Jawab istri saya: Itu banyak Pa, ada lebih dari 40 anak (dari 800 mhs se fakultas) yg tunggakannya 300 ribu sampai 3 juta. Bayar SPP 2 juta saja tidak mampu? Di ITB 5 juta lho. Kok swasta bisa jauh lebih murah dari negri ya? Alasan sih pasti banyak, tapi kapan PTN bisa didominasi oleh mahasiswa-mahasiswa miskin lagi ya.
Dulu kiriman saya 15 ribu dan spp 21 ribu. Jadi SPP kira2 hanya 1,5 kali kiriman mahasiswa miskin. Saat ini mahasiswa saya yg miskin kirimannya 500 ribu (100 ribu untuk asrama, makan 2x sehari x 5rb = 300rb, fotokopi dan pulsa dll 100 ribu). Jadi kalau setara dulu, harusnya biaya kuliah di PTN 1,5 x 500 = Rp. 750 ribu. Ya 1 juta/ semester masih OK krn dapat dijangkau oleh petani atau anak PNS golongan 2a. Jumlah ini masuk akal juga, karena swasta bisa menyelenggarakan dengan SPP 2 jt/semester tuh mosok PTN 5jt belum termasuk uang masuk. Di PTN tempat istri saya bekerja uang masuk dan SPP pertama jumlahnya hanya kira2 8 juta rupiah. Tahun kemarin anak saya diterima di TI Unpar, uang masuk dan SPP pertama saya bayar total 25 juta, tapi kemudian anak saya diterima di ITB dan saya bayar 55jt + 5jt SPP pertama. Saya tidak komplain bayar sekian karena anak saya bukan dari keluarga miskin dan bagi saya pendidikan adalah segalanya (mengikuti pola berfikir Ibu saya). Saya hanya rindu PTN didominasi oleh mahasiswa2 miskin seperti dulu. Itu saja.
Jadi Pak Nanang jangan komplain karena mahasiswanya manja. Mereka pandai tetapi dari keluarga berada jadi jangan dikasih tugas yg berat2 Pak, karena walau mereka mampu, mereka pasti akan menangis berhari2. Bisa2 Bpk ditelpon orang tuanya: Kenapa anak saya hanya dapat nilai B bukan A? Saya baru saja memeriksa catatan mahasiswa saya (seperti anak SD saja): Beberapa dari mereka bahkan terlalu malas untuk menyalin rumus yg sudah susah payah saya turunkan di depan kelas. Kalau kuliah pakai bahan ppt, di akhir kuliah mereka bilang: Pak bahan presentasinya bisa dikopikan ke flash disk saya nggak?
Salam,
ZA
Semoga bermanfaat, dan mengambil hikmah dari cerita di atas. salam