Apa harapan dan menariknya punya gelar doktor?
Gelar Doktor disingkat Dr merupakan gelar akademik yang diberikan kepada lulusan program pendidikan doktor atau strata-3. Gelar ini adalah gelar kesarjanaan tertinggi yang diberikan perguruan tinggi kepada seorang sarjana yang telah menulis dan mempertahankan disertasinya. di Indonesia gelar Doktor disingkat dengan Dr, sedangkan beberapa lulusan luar negeri menggunakan gelar PhD. apa itu PhD? PhD atau kepanjangan dari Doctor of Philosophy merupakan gelar akademik tertinggi pada banyak bidang keilmuan. Istilah philosophy pada gelar akademik ini tidak bermakna doktor di bidang keilmuan filsafat, melainkan sebagai gelar penghormatan dalam tingkat kebijaksanaan (dari kata philosophia yang artinya love of wisdom) pada suatu bidang keilmuan selain bidang teologi, hukum dan medis. Gelar PhD yang diterapkan di berbagai negara setara dengan gelar doktor di Indonesia.
Baca juga:
Kuliah S3 itu berapa Tahun ya?
Terus apa menariknya menjadi S3? Pemburu gelar doktor atau S3 yang paling antusias tentu saja adalah orang-orang yang bekerja di dunia akademik dan riset. Bagi para dosen di perguruan tinggi dan peneliti di lembaga-lembaga riset, gelar doktor adalah tujuan formal yang paling tinggi dalam jenjang pendidikan akademik yang mungkin mereka tempuh. Bagi para insan akademik, derajad doktor tidak hanya dilihat sebagai atribut yang bersifat eksternal (seperti sebutan “haji” misalnya), tetapi lebih merupakan tuntutan yang melekat pada profesi pendidik itu sendiri. Tidak ada dosen yang tidak ingin meraih gelar doktor, karena pencapaian itu merupakan bagian dari tugas pekerjaan sebagai dosen.
Selain itu, diakui atau tidak, di lingkungan kampus atau lembaga riset masih ada budaya tak tertulis tentang perbedaan perlakuan atau pandangan berdasarkan status akademik. Pemegang gelar S3 mendapatkan hak atau privilege dalam berbagai bentuk, yang tidak bisa dinikmati oleh mereka yang “hanya” memiliki gelar S2 atau S1.
Baca juga:
Bingung cara mencari ID dan H Indeks Scopus? 6 langkah mudah untuk mencari ID dan H indeks Scopus
Bagaimana harapan seorang doktor? Seorang doktor adalah orang yang terlatih dalam melakukan riset secara mandiri. Riset adalah sebuah aktivitas yang mengeksplorasi intelektualitas manusia untuk mencari jawaban atas persoalan yang dihadapi. Riset dilakukan menuruti prinsip dan kaidah ilmiah universal seperti berpikir secara runtut dan argumentatif, menjunjung tinggi obyektivitas dan kejujuran ilmiah, serta rendah hati dalam mengakui karya-karya orang lain yang berpengaruh atau terkait dengan risetnya. Kompetensi inilah yang dituntut dari seorang doktor, di manapun ia bekerja.
Studi S3 itu identik dengan riset. Tidak ada program S3 tanpa riset. Sayangnya riset adalah sesuatu yang kadang tidak dimengerti dengan baik oleh calon mahasiswa S3, sehingga kinerja mereka tidak maksimal. Sebelum menempuh pendidikan S3, sebaiknya calon mahasiswa memahami dulu tentang dunia yang akan mereka hadapi, agar bisa menyiapkan diri dengan baik. Oleh karena itu ketika diterima pada program S3, seorang mahasiswa dihadapkan pada ketidakjelasan tentang apa yang harus ia lakukan. Ia harus menjawab banyak pertanyaan tentang riset yang akan dijalaninya: domain dan lingkupnya, persoalan yang harus diselesaikan, metodologinya, dan sebagainya. Tidak ada jawaban yang pasti untuk semua pertanyaan itu, dan tidak ada orang lain yang bisa membantu mencarikan jawaban. Mahasiswa harus mencari jawabannya sendiri sepanjang studinya, dan inilah yang membuat tantangan pada program S3 jauh lebih berat dibandingkan dengan pada program S1.
Baca juga:
Bagaimana kriteria Tulisan ilmiah dan etika penulisannya?
Bagaimana karakteristik dari studi S3?
Pada jenjang S2, riset yang dilakukan adalah untuk mendemonstrasikan kapabilitas mahasiswa untuk dapat menjalankan metode-metode ilmiah dengan baik dan benar. Fokus riset S2 adalah pada aspek kualitas eksekusi proses-proses dalam riset. Jika mahasiswa S2 dapat menunjukkan bahwa ia telah menjalankan semua tahapan riset dengan baik dan benar, maka ia dianggap telah memiliki kompetensi riset untuk jenjang S2. Pada jenjang S3, kapabilitas ini kemudian digunakan untuk mencapai frontier dalam bidang penelitian yang ditekuni mahasiswa. Perjalanan menuju tip of the edge inilah yang tidak dilihat oleh mahasiswa saya tadi, dan inilah yang dia rasakan jauh lebih sulit daripada saat dia menempuh studi magisternya.
Mahasiswa S3 juga dituntut memiliki tanggung jawab lebih besar. Studi yang dilakukannya tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri seperti halnya mahasiswa S1 atau S2, tapi harus berimplikasi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang yang ditekuninya. Untuk itu ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mahasiswa S3.
Baca juga:
Mengenal Plagiarism, elemen pendukung dan cara mengantisipasinya
Pertama, seorang calon doktor harus punya kecintaan dan passion terhadap bidang ilmu dan topik riset yang ditekuninya. Selama 3 tahun masa studinya (sering kali lebih), mahasiswa akan bergelut dan berjuang keras dengan topik risetnya. Perjuangan dalam masa yang cukup panjang ini tidak akan bisa dimenangkan jika tidak ada dorongan internal dari dalam diri mahasiswa. Tanpa motivasi internal, seseorang tidak akan tahan berkutat dengan ketidakjelasan, kebuntuan, rasa frustrasi, kelelahan, dan berbagai perasaan negatif lainnya yang sering muncul dalam kurun waktu studinya.
Yang kedua, seorang mahasiswa S3 haruslah menjadi manajer yang baik, khususnya untuk dirinya sendiri. Studi S3 memerlukan fokus perhatian, usaha keras, dan alokasi waktu yang cukup. Terkadang waktu, perhatian, dan pikiran yang diperlukan melebihi alokasi yang direncanakan, sehingga mengambil jatah kepentingan lain seperti keluarga, lingkungan sosial, urusan kantor, atau bahkan kepentingan pribadi. Sering terjadi seorang mahasiswa S3 harus menghabiskan waktunya di laboratorium dari pagi sampai larut malam.
Riset S3 memang menuntut syarat-syarat yang cukup berat, tetapi di sisi lain ia juga menawarkan pengalaman yang mengasyikkan sekaligus bermanfaat dalam jangka panjang. Sesungguhnya inilah “mutiara” yang seharusnya dikejar oleh para mahasiswa S3.
Baca juga:
Cara pengutipan dalam karya ilmiah, Untuk mengantisipasi Plagiarism
Bagaimana standar dan ciri Riset S3?
Banyak calon mahasiswa merasa bingung dengan ciri kebaruan (novelty) dan orisinalitas (originality). Pada tataran apakah kebaruan itu harus dimunculkan? Seberapa tinggi tingkat orisinalitas yang diharapkan? Di satu sisi, sering terjadi kebaruan dan orisinalitas diterjemahkan sebagai “belum pernah dipikirkan oleh orang lain”. Calon mahasiswa berpikir keras mencari ide atau konsep yang sama sekali di luar pakem, lepas dari konteks ilmiah akademis yang ada. Target yang ambisius seperti ini biasanya tidak akan tercapai, apalagi jika tidak didukung oleh kemampuan dan sumberdaya yang memadai. selain itu karena belum memahami tuntutan riset S3, kebanyakan proposal ekspansi ini bersifat horizontal (meluas) saja, kurang menyentuh aspek-aspek yang lebih fundamental.
Keluaran riset S3 adalah pemahaman-pemahaman baru yang dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan di bidang itu. Yang diperkaya adalah khasanah ilmu pengetahuan, bukan pengalaman pemanfaatan (aplikasi) ilmu tersebut. Artinya, riset S3 tidak cukup sampai tataran aplikasi saja, meskipun di lingkup itupun muncul hal-hal baru yang juga menarik dan bermanfaat.
Secara singkat, yang membedakan riset S3 dengan riset S2 atau S1 adalah tingkat signifikansi kontribusinya terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di sebuah bidang. Karya Claude Shannon tentang bagaimana rangkaian relay elektris dapat digunakan untuk mengimplementasikan konstruksi logika Boolean adalah contoh karya yang berbobot S3 (meskipun Shannon mengerjakannya untuk tesis masternya2). Semua perangkat digital saat ini dikembangkan dari temuan riset ini. Sebaliknya, pembuatan aplikasi pengolah kata (word processor) selengkap apapun fiturnya, kecil kemungkinannya bisa diangkat sebagai topik riset S3 karena tidak ada kebaruan secara fundamental yang dapat digali dari sana.
Baca juga:
Langkah awal Identifikasi Jurnal Predator untuk Peneliti
Tuntutan riset S3 juga memerlukan kemandirian yang tinggi dari mahasiswa. Memang ada promotor atau supervisor, tetapi perannya lebih pada mengarahkan, bukan menuntun. Mahasiswa S3 harus mampu berjalan sendiri.
kesimpulannya, perjalanan riset S3 memang berat, tetapi di sisi lain, jika mahasiswa dapat menjalaninya dengan baik, akan ada mutiara yang menunggunya. Di mana letak reward riset S3? Menurut pengalaman orang-orang yang pernah menjalani studi S3, baik proses riset maupun hasilnya dapat memberikan reward yang setimpal dengan usaha yang dikeluarkan. Menjalankan riset berarti melatih intelektualitas dalam mencari jawaban dengan menggunakan metode yang obyektif, runtut, dan sistematis. Di dalamnya ada proses penalaran, melakukan eksperimen, menguji hipotesis, mencari data pendukung yang valid dan menerapkannya, menganalisis fenomena, sampai ke menarik kesimpulan. Aktivitas riset sebenarnya melatih cara berpikir kita. Jika terlatih berpikir secara runtut dan sistematis, maka kita akan nyaman untuk menghadapi berbagai persoalan yang menuntut solusi yang tepat. Kemampuan inilah yang sebenarnya sangat berharga bagi seorang mahasiswa S3. Setelah lulus, ia akan dilengkapi dengan pisau intelektual yang tajam yang bisa digunakan dalam bidang apapun juga, bahkan dalam situasi-situasi non-ilmiah.
Demikian artikel tentang harapan dan menariknya punya gelar doktor serta karakteristik dari riset S3 yang saya ringkas dari buku sukses menjalani S3 (penulis Lukito Edi N.), semoga bermanfaat.